Jumat, 28 Agustus 2009

Kuliah hari ini....berkesan banget!!

Sore ini, dari jam 1 sampe jam 3, saya mengikuti kuliah perdana mata kuliah Aksesibilitas Lingkungan. Sejujurnya, awalnya saya bingung, mata kuliah ini menawarkan apa. Kebingungan saya bertambah saat jam pertama dimulai dengan permainan yang dinamakan dot colored game, dimana teman - teman di bagi menjadi 2 kelompok.

Kelompok pertama, matanya ditutup rapat dan boleh bicara. Kelompok kedua matanya tidak ditutup tapi tidak boleh bicara. Dosen mata kuliah ini, yaitu pak Ikaputra dan pak Hari akan menempelkan stiker yang berbeda bentuk dan warnanya pada dahi setiap mahasiswa. Saat ditempel, semua mahasiswa harus menutup mata sampai ada aba - aba selanjutnya.
Inti dari permainan ini adalah, kami harus membuat kelompok berdasarkan stiker yang sama yang ada di dahi masing - masing, dalam waktu kurang dari 10 menit.
Alhasil, suasananya jadi kacau balau. antara panik, bingung,ketawa cekikikan dalam hati,kesal, ra jelas lah....

Akhirnya, setelah permainan berakhir, kami pun diminta menceritakan kesan - kesan selama menjalani permainan itu. Kami pun tahu bahwa permainan yang sepertinya hanya berisi having fun itu sebenarnya adalah simulasi kecil menjadi penyandang difabel.

Rupanya, Aksesibilitas Lingkungan ini adalah mata kuliah yang akan mengajarkan kita mencari solusi berupa desain yang ditujukkan untuk para penyandang difabel.
Kami pun diingatkan (atau malah mungkin disadarkan) bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas, baik yang umum maupun pribadi, seperti fasilitas kendaraan umum, jalan, bahkan kursi dan meja. Dalam hal ini, tentu saja kaitannya dengan kami adalah dunia desain arsitektur dan lingkungan binaan.
Kami pun harus lebih memahami keadaan mereka dan memulai membuka pikiran bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Bahkan, yang terlihat baik - baik saja tanpa kekurangan tetaplah memiliki kekurangan. Dan yang kelihatannya memiliki kekurangan, sebenarnya justru memiliki kelebihan yang tidak kita miliki.

Kuliah ini juga tidak hanya berkutat di dalam kelas saja, melainkan kami akan sering melakukan simulasi menjadi para penyandang difabel. Menggunakan kursi roda, kruk, mata tertutup, dan sebagainya. Namun, tentu saja tidak dalam waktu dekat ini...

Semoga saja, kuliah ini bisa memberi manfaat yang besar untuk ke depannya nanti, baik bagi kami para mahasiswa Arsitektur dan juga calon klien kami, para penyandang difabel. Amiin....

2 komentar:

  1. Halo De' Mala. Apa kabar? Ini Mas Adri. Maaf aku nyasar ke blogmu via blognya Wibi :-). Menarik tulisanmu tentang difabel, penyediaan fasilitas publik bagi mereka, dan implikasinya pada dunia arsitektur. De', FYI, Mbak Fin sekarang bekerja di suatu perusahaan swasta di Jakarta dan ketersediaan fasilitas publik yang ramah difabel terbukti langka alias hampir tidak ada. Berbagai upaya sudah kami coba untuk menyiasati kesukaran yang sehari-hari dialami Mbak Fin mulai dari berangkat ke kantor hingga pulang kembali ke rumah. Alhamdulillah pendekatan individual ini sedikit banyaknya sudah menemui solusinya, walau sejatinya akan lebih baik lagi kalau negara lebih memperhatikan keamanan, kemudahan, dan kenyamanan para difabel dalam beraktifitas kerja atau sekolah di Jakarta. Kesimpulan sementaraku selagi fasilitas publik tersebut belum ada adalah semakin banyak uang yang dimiliki keluarga dari difabel, semakin aman, mudah, dan nyaman pula kehidupan urban bagi mereka. Dengan uang semacam itu, bisa saja Mbak Fien naik taksi ke mana-mana setiap hari; habis perkara. Tapi sayangnya kenyataan tidak selalu seindah keinginan kita. :-( Semua ini tentu akan berbanding terbalik dengan keadaan perkotaan yang sudah ramah difabel: Keamanan, kemudahan, dan kenyamanan tersebut bisa didapatkan tanpa harus mengeluarkan uang banyak. Biarkan pajak warga negara yang membiayainya. :-) Segitu dulu komentarku ya. Ciao!

    BalasHapus
  2. wah, mas Adri. aku lama vakuum, jarang buka blog.
    iya, setuju, mas. memang, seharusnya pemerintah concern dengan masalah akses untuk difabel. karena bagaimana pun juga ,mereka juga warga indonesia sama seperti kita. kalau di Yogya, sih sedikit - sedikit pemerintah mulai membangun fasilitas tersebut (kayaknya di daerah lain juga, kok, termasuk Jakarta). Cuma, masih belum bisa memenuhi standar dan kenyamanan warganya. Bahkan, karena mungkin sosialisasinya kurang, banyak yang nggak ngerti fasilitas itu fungsinya apa.
    Yah, semoga saja pemerintah bisa lebih perhatian dengan hal - hal semacam ini.

    BalasHapus